Selasa, 16 Juni 2009

Penggajian Dalam Islam

Konsep ajaran Islam sebagai agama universal, karenanya ajaran Islam lengkap mengatur berbagai segi kehidupan manusia, baik segala hal yang berhubungan dengan Khalik maupun yang berkenaan dengan sesama manusia. Termasuk pengaturan tentang masalah pengupahan.

Menyangkut dengan masalah pengupahan, kodifikasi hukum Islam menempatkan satu pembahasan khusus dalam kitab fiqih yang terdapat dalam bab al-ijarah.

Pengertian al-ijarah menurut kebahasaan adalah imbalan atas suatu pekerjaan.[1] Namun, pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:

1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.

2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.

3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.

4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.[2]

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.

Berkenaan dengan pengupahan kepada tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk pembayaran yaitu gaji dan upah. Menurut pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai imbalan pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti PNS, pegawai pemerintahan, dosen, guru, pegawai swasta, manager dan akuntan. Pembayaran gaji tersebut pada umumnya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah, misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.[3]

Berdasarkan teori ekonomi upah memiliki pengertian sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.[4] Karenanya dalam teori ekonomi tidak dikenal perbedaan diantara pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja tetap dan profesional (seperti PNS) dengan pekerja kasar, kedua jenis pendapatan pekerja (pembayaran kepada para pekerja) tersebut dinamakan upah.

Untuk lebih jelas berkenaan dengan upah atau gaji yang merupakan suatu bagian dari kontrak ijarah, maka hal itu perlu diperjelas sehingga menghilangkan kekaburan dalam penafsiran.

Berkenaan dengan perlunya kejelasan besarnya upah, Nabi Muhammad SAW, bersabda dalam suatu hadits yang berbunyi:

Artinya: Dari Abi Sa`id al-Khudry r.a., bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang mengontrak pekerja sehingga dijelaskan besar upahnya. (HR. Al-Baihaqy)

Pengertian upah dalam dalalah al-ijarah konsep Islam dapat berupa dalam bentuk uang atau barang yang dapat dijadikan tsaman (harga) dalam jual beli.[5] Ada juga ulama yang berpendapat, bahwa upah itu harus dalam bentuk mata uang yang berlaku dalam sebuah negara.[6]

Lebih lanjut supaya lebih jelas berkenaan dengan masalah upah, penulis akan menjelaskan sedikit tentang pengertian upah dalam arti konvensional. Dalam hal ini upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya dalam produksi.[7]

Supaya lebih jelas guna mengetahui apa yang dimaksud dengan upah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah. Dalam hal tersebut menurut ketentuan pasal 1 huruf (a) PP. No. 8 Tahun 1981, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun untuk keluarganya.[8]

Sedangkan pengertian imbalan adalah termasuk juga pembayaran honorarium yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus. Karenanya, dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang atau dapat dinilai dengan uang karena telah melakukan pekerjaan atau jasa. Upah juga boleh ditakrifkan sebagai harga yang dibayar kepada perkhidmatan buruh dalam proses pengeluaran.[9]

Sebenarnya upah merupakan imbalan dalam bentuk uang atau benda lainnya yang diberikan majikan kepada pekerja sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Karenanya, selain itu menurut Benhan, pengertian upah dapat diartikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh seseorang yang memberikan pekerjaan kepada seseorang pekerja atas jasanya dengan sesuai perjanjian.[10]

Berdasarkan beberapa batasan pengertian upah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa upah adalah imbalan terhadap hasil kerja atau manfaat yang diberikan oleh pekerja kepada seseorang majikan yang menyuruhnya dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan perjanjian kerja. Untuk itu, dapat dipahami bahwa upah, baik menurut teori konvensional maupun dalam hukum Islam mempunyai kesamaan esensialnya yaitu suatu imbalan terhadap pemberian manfaat kepada majikan.

Keharusan pembayaran gaji telah menjadi kewajiban bagi si majikan kepada pekerja. Gaji sudah menjadi milik pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya. Jika dalam akad tidak ditentukan kesepakatan para pihak tentang ketentuan mempercepat atau menangguhkan pembayaran gaji dalam waktu tertentu, maka gaji pekerja wajib dibayar sesudah buruh menyelesaikan semua pekerjaan dan berakhirnya masa kerja.

Pembayaran upah atau gaji merupakan hasil hubungan kerja antara pekerja dan majikan.Upah dibayar majikan kepada pekerja sebagai perealisasian perjanjian kerja. Berdasarkan perjanjian dalam Islam, kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan jumlah gaji atau upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut.[11] Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.

Jika dalam persyaratan perjanjian kerja ada ditentukan syarat yang telah disetujui bersama, bahwa gaji pekerja dibayar sebulan sekali, maka majikan wajib memenuhi syarat tersebut yaitu membayar gaji pekerja sebulan sekali. Namun jika dalam persyaratan perjanjian kerja yang disetujui bersama bahwa gaji pekerja dibayar seminggu sekali, maka majikan harus membayar gaji pekerja seminggu sekali mengikuti persyaratan perjanjian kerja yang mereka buat dan setujui bersama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: Dari Ibnu Sirin berkata, Nabi SAW bersabda: Orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut memuat syarat-syarat pembayaran gaji. Kalau dalam akad di atas, masalah penundaan pembayaran upah ada ditentukan penundaan gaji adalah sah, tidaklah hal itu membatalkan dalam perjanjian yang diadakan semulanya. Penundaan gaji secara sewenang-wenang kepada pekerja dilarang dalam Islam, akan tetapi harus disegerakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu kemudian berikanlah upah kepada tukang bekam tersebut. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tersebut, maka majikan haruslah memberikan gaji pekerja segera mungkin tanpa adanya penundaan berlarut-larut. Penangguhan gaji ataupun pengunduran waktunya dibolehkan seandainya telah disepakati sebagaimana disyaratkan waktu mengadakan perjanjian kerja.

Sebenarnya majikan tidak boleh mengingkari waktu pembayaran gaji yang telah disepakati. Jika ditunda, hal itu menjadi hutang majikan kepada pekerja sebesar jumlah gaji yang ditunda tersebut. Setelah pekerja melunasi pekerjaan dengan persyaratan pekerjaan itu, majikan haruslah menepati janjinya. Pengunduran waktu pembayaran upah dapat menjadikan perjanjian batal, karena perubahan sighat akad yang semula diucapkan oleh kedua belah pihak, kecuali jika keadaan terpaksa.[12] Namun, jika dalam akad diucapkan bahwa penundaan gaji akan terjadi pada waktu pembayaran dan atas kerelaan masing-masing pihak, ini dibenarkan syariat Islam, karena mempunyai dasar kerelaan.

Jika kewajiban dari pekerja sudah dipenuhi kepada majikan, maka untuk itu hak pekerja tidak boleh diabaikan tanpa memberikan gaji sesuai waktu yang dijanjikan untuk memenuhi haknya sebagai pekerja. Sepanjang ia tidak menyalahi mengerjakan pekerjaan diwajibkan kepadanya karena ia disewa sebagai pekerja, serta diberi gaji. Pekerja berhak mendapatkan bayaran gaji secara penuh walau terpaksa terjadi penundaan waktu pembayaran gaji. Namun tidak boleh dikurangi dari jumlah yang diperjanjikan.

Jika majikan tidak memiliki mata uang nominal, maka pembayaran gaji pekerja dengan benda (asal pekerja mau menerima) dapat dilakukan. Asalkan benda tersebut memiliki nilai standar pasar yang memiliki sifat mubah dan jelas manfaatnya. Pembayaran upah atau gaji dalam bentuk benda harus diikuti dengan taksiran yang sama dengan jumlah gaji atau upah dalam nilai mata uang nominal.[13]

Syariat Islam menganjurkan agar upah yang diterima oleh tenaga kerja, sesuai dengan tenaga yang telah diberikan. Tenaga kerja tidak boleh dirugikan, ditipu dan eksploitasi tenaganya, karena mengingat keadaan sosial tenaga kerja berada pada posisi perekonomian lemah. Gaji harus dibayar atau dihargai sesuai dengan keahlian dan skill masing-masing pekerja. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT yaitu:

Artinya: “Dan masing-masing derajat sesuai dengan apa yang mereka kerjakan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedangkan mereka tiada dirugikan”. (Q.S. Al-Ahqaf : 19)

Dari itu dapatlah dikatakan bahwa tenaga kerja berhak menerima gaji sesuai keahlian dan kemampuannya walaupun terjadi penundaan. Penangguhan yang dilakukan tidak boleh mengurangi jumlah gaji yang telah tertunda. Harus sesuai dengan yang diperjanjikan tidak boleh dikurangi sedikitpun.



[1] Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut: Darul-Fikri, tt), hlm. 94.

[2] Ibid., hlm. 98.

[3] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 350.

[4] Ibid., hlm. 351.

[5] Abdurrahman Al-Jaziry, Op.Cit., hlm. 101.

[6] Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hlm. 68.

[7] Afzalul Rahman, Op.Cit., hlm. 361.

[8] F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hlm. 40.

[9] Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul Ehsan: Penerbit Asni SDN.BHD, 2000), hlm. 17.

[10] Ibid., hlm.20.

[11] Iskandar Budiman, Dasar-Dasar Penetapan Upah Dalam Islam, (Artikel Media Syariah, Vol. IV, No. 7, Banda Aceh: Fakultas Syariah, Januari-Juni 2002), hlm. 73.

[12] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, Terjemahan Hamidi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm. 64.

[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughni Wa Al-Syarah Al-Kabir, Jilid VI, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1392 H), hlm. 12.

0 komentar: