Selasa, 16 Juni 2009

Penggajian Dalam Islam

Konsep ajaran Islam sebagai agama universal, karenanya ajaran Islam lengkap mengatur berbagai segi kehidupan manusia, baik segala hal yang berhubungan dengan Khalik maupun yang berkenaan dengan sesama manusia. Termasuk pengaturan tentang masalah pengupahan.

Menyangkut dengan masalah pengupahan, kodifikasi hukum Islam menempatkan satu pembahasan khusus dalam kitab fiqih yang terdapat dalam bab al-ijarah.

Pengertian al-ijarah menurut kebahasaan adalah imbalan atas suatu pekerjaan.[1] Namun, pengertian al-ijarah menurut istilah syariat Islam terdapat beberapa pendapat Imam Mazhab Fiqh Islam sebagai berikut:

1. Para ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat, bahwa al-ijarah adalah suatu transaksi yang memberi faedah pemilikan suatu manfaat yang dapat diketahui kadarnya untuk suatu maksud tertentu dari barang yang disewakan dengan adanya imbalan.

2. Ulama Mazhab Malikiyah mengatakan, selain al-ijarah dalam masalah ini ada yang diistilahkan dengan kata al-kira`, yang mempunyai arti bersamaan, akan tetapi untuk istilah al-ijarah mereka berpendapat adalah suatu `aqad atau perjanjian terhadap manfaat dari al-Adamy (manusia) dan benda-benda bergerak lainnya, selain kapal laut dan binatang, sedangkan untuk al-kira` menurut istilah mereka, digunakan untuk `aqad sewa-menyewa pada benda-benda tetap, namun demikian dalam hal tertentu, penggunaan istilah tersebut kadang-kadang juga digunakan.

3. Ulama Syafi`iyah berpendapat, al-ijarah adalah suatu aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan oleh Syara` dan merupakan tujuan dari transaksi tersebut, dapat diberikan dan dibolehkan menurut Syara` disertai sejumlah imbalan yang diketahui.

4. Hanabilah berpendapat, al-ijarah adalah `aqad atas suatu manfaat yang dibolehkan menurut Syara` dan diketahui besarnya manfaat tersebut yang diambilkan sedikit demi sedikit dalam waktu tertentu dengan adanya `iwadah.[2]

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam hal `aqad ijarah dimaksud terdapat tiga unsur pokok, yaitu pertama, unsur pihak-pihak yang membuat transaksi, yaitu majikan dan pekerja. Kedua, unsur perjanjian yaitu ijab dan qabul, dan yang ketiga, unsur materi yang diperjanjikan, berupa kerja dan ujrah atau upah.

Berkenaan dengan pengupahan kepada tenaga kerja dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk pembayaran yaitu gaji dan upah. Menurut pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai imbalan pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga kerja profesional seperti PNS, pegawai pemerintahan, dosen, guru, pegawai swasta, manager dan akuntan. Pembayaran gaji tersebut pada umumnya dilakukan sebulan sekali. Sedangkan upah dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah, misalnya pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.[3]

Berdasarkan teori ekonomi upah memiliki pengertian sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha.[4] Karenanya dalam teori ekonomi tidak dikenal perbedaan diantara pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja tetap dan profesional (seperti PNS) dengan pekerja kasar, kedua jenis pendapatan pekerja (pembayaran kepada para pekerja) tersebut dinamakan upah.

Untuk lebih jelas berkenaan dengan upah atau gaji yang merupakan suatu bagian dari kontrak ijarah, maka hal itu perlu diperjelas sehingga menghilangkan kekaburan dalam penafsiran.

Berkenaan dengan perlunya kejelasan besarnya upah, Nabi Muhammad SAW, bersabda dalam suatu hadits yang berbunyi:

Artinya: Dari Abi Sa`id al-Khudry r.a., bahwa sesungguhnya Nabi SAW melarang mengontrak pekerja sehingga dijelaskan besar upahnya. (HR. Al-Baihaqy)

Pengertian upah dalam dalalah al-ijarah konsep Islam dapat berupa dalam bentuk uang atau barang yang dapat dijadikan tsaman (harga) dalam jual beli.[5] Ada juga ulama yang berpendapat, bahwa upah itu harus dalam bentuk mata uang yang berlaku dalam sebuah negara.[6]

Lebih lanjut supaya lebih jelas berkenaan dengan masalah upah, penulis akan menjelaskan sedikit tentang pengertian upah dalam arti konvensional. Dalam hal ini upah adalah harga yang dibayarkan kepada pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberikan imbalan atas jasanya dalam produksi.[7]

Supaya lebih jelas guna mengetahui apa yang dimaksud dengan upah dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah. Dalam hal tersebut menurut ketentuan pasal 1 huruf (a) PP. No. 8 Tahun 1981, upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun untuk keluarganya.[8]

Sedangkan pengertian imbalan adalah termasuk juga pembayaran honorarium yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh secara teratur dan terus menerus. Karenanya, dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan upah adalah imbalan yang berupa uang atau dapat dinilai dengan uang karena telah melakukan pekerjaan atau jasa. Upah juga boleh ditakrifkan sebagai harga yang dibayar kepada perkhidmatan buruh dalam proses pengeluaran.[9]

Sebenarnya upah merupakan imbalan dalam bentuk uang atau benda lainnya yang diberikan majikan kepada pekerja sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama. Karenanya, selain itu menurut Benhan, pengertian upah dapat diartikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh seseorang yang memberikan pekerjaan kepada seseorang pekerja atas jasanya dengan sesuai perjanjian.[10]

Berdasarkan beberapa batasan pengertian upah di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa upah adalah imbalan terhadap hasil kerja atau manfaat yang diberikan oleh pekerja kepada seseorang majikan yang menyuruhnya dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan perjanjian kerja. Untuk itu, dapat dipahami bahwa upah, baik menurut teori konvensional maupun dalam hukum Islam mempunyai kesamaan esensialnya yaitu suatu imbalan terhadap pemberian manfaat kepada majikan.

Keharusan pembayaran gaji telah menjadi kewajiban bagi si majikan kepada pekerja. Gaji sudah menjadi milik pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya. Jika dalam akad tidak ditentukan kesepakatan para pihak tentang ketentuan mempercepat atau menangguhkan pembayaran gaji dalam waktu tertentu, maka gaji pekerja wajib dibayar sesudah buruh menyelesaikan semua pekerjaan dan berakhirnya masa kerja.

Pembayaran upah atau gaji merupakan hasil hubungan kerja antara pekerja dan majikan.Upah dibayar majikan kepada pekerja sebagai perealisasian perjanjian kerja. Berdasarkan perjanjian dalam Islam, kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan jumlah gaji atau upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut.[11] Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.

Jika dalam persyaratan perjanjian kerja ada ditentukan syarat yang telah disetujui bersama, bahwa gaji pekerja dibayar sebulan sekali, maka majikan wajib memenuhi syarat tersebut yaitu membayar gaji pekerja sebulan sekali. Namun jika dalam persyaratan perjanjian kerja yang disetujui bersama bahwa gaji pekerja dibayar seminggu sekali, maka majikan harus membayar gaji pekerja seminggu sekali mengikuti persyaratan perjanjian kerja yang mereka buat dan setujui bersama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

Artinya: Dari Ibnu Sirin berkata, Nabi SAW bersabda: Orang-orang muslim itu sesuai dengan syarat mereka. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut memuat syarat-syarat pembayaran gaji. Kalau dalam akad di atas, masalah penundaan pembayaran upah ada ditentukan penundaan gaji adalah sah, tidaklah hal itu membatalkan dalam perjanjian yang diadakan semulanya. Penundaan gaji secara sewenang-wenang kepada pekerja dilarang dalam Islam, akan tetapi harus disegerakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah SAW bersabda: berbekamlah kamu kemudian berikanlah upah kepada tukang bekam tersebut. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW tersebut, maka majikan haruslah memberikan gaji pekerja segera mungkin tanpa adanya penundaan berlarut-larut. Penangguhan gaji ataupun pengunduran waktunya dibolehkan seandainya telah disepakati sebagaimana disyaratkan waktu mengadakan perjanjian kerja.

Sebenarnya majikan tidak boleh mengingkari waktu pembayaran gaji yang telah disepakati. Jika ditunda, hal itu menjadi hutang majikan kepada pekerja sebesar jumlah gaji yang ditunda tersebut. Setelah pekerja melunasi pekerjaan dengan persyaratan pekerjaan itu, majikan haruslah menepati janjinya. Pengunduran waktu pembayaran upah dapat menjadikan perjanjian batal, karena perubahan sighat akad yang semula diucapkan oleh kedua belah pihak, kecuali jika keadaan terpaksa.[12] Namun, jika dalam akad diucapkan bahwa penundaan gaji akan terjadi pada waktu pembayaran dan atas kerelaan masing-masing pihak, ini dibenarkan syariat Islam, karena mempunyai dasar kerelaan.

Jika kewajiban dari pekerja sudah dipenuhi kepada majikan, maka untuk itu hak pekerja tidak boleh diabaikan tanpa memberikan gaji sesuai waktu yang dijanjikan untuk memenuhi haknya sebagai pekerja. Sepanjang ia tidak menyalahi mengerjakan pekerjaan diwajibkan kepadanya karena ia disewa sebagai pekerja, serta diberi gaji. Pekerja berhak mendapatkan bayaran gaji secara penuh walau terpaksa terjadi penundaan waktu pembayaran gaji. Namun tidak boleh dikurangi dari jumlah yang diperjanjikan.

Jika majikan tidak memiliki mata uang nominal, maka pembayaran gaji pekerja dengan benda (asal pekerja mau menerima) dapat dilakukan. Asalkan benda tersebut memiliki nilai standar pasar yang memiliki sifat mubah dan jelas manfaatnya. Pembayaran upah atau gaji dalam bentuk benda harus diikuti dengan taksiran yang sama dengan jumlah gaji atau upah dalam nilai mata uang nominal.[13]

Syariat Islam menganjurkan agar upah yang diterima oleh tenaga kerja, sesuai dengan tenaga yang telah diberikan. Tenaga kerja tidak boleh dirugikan, ditipu dan eksploitasi tenaganya, karena mengingat keadaan sosial tenaga kerja berada pada posisi perekonomian lemah. Gaji harus dibayar atau dihargai sesuai dengan keahlian dan skill masing-masing pekerja. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT yaitu:

Artinya: “Dan masing-masing derajat sesuai dengan apa yang mereka kerjakan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedangkan mereka tiada dirugikan”. (Q.S. Al-Ahqaf : 19)

Dari itu dapatlah dikatakan bahwa tenaga kerja berhak menerima gaji sesuai keahlian dan kemampuannya walaupun terjadi penundaan. Penangguhan yang dilakukan tidak boleh mengurangi jumlah gaji yang telah tertunda. Harus sesuai dengan yang diperjanjikan tidak boleh dikurangi sedikitpun.



[1] Abdurrahman Al-Jaziry, Kitab Al-Fiqhu ‘Ala Mazahibil Arba`ah, Jilid III, (Beirut: Darul-Fikri, tt), hlm. 94.

[2] Ibid., hlm. 98.

[3] Sadono Sukirno, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Edisi II, Cet. 13, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 350.

[4] Ibid., hlm. 351.

[5] Abdurrahman Al-Jaziry, Op.Cit., hlm. 101.

[6] Syaikh Qalyubi, Qalyubi wal-`amirah, Juz, III, (Semarang: Syirkah Nur Asia, tt), hlm. 68.

[7] Afzalul Rahman, Op.Cit., hlm. 361.

[8] F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1994), hlm. 40.

[9] Ghafarullahuddin bin Din Habibah Laher, Ekonomi Islam, Seri Ke III, (Selangor Darul Ehsan: Penerbit Asni SDN.BHD, 2000), hlm. 17.

[10] Ibid., hlm.20.

[11] Iskandar Budiman, Dasar-Dasar Penetapan Upah Dalam Islam, (Artikel Media Syariah, Vol. IV, No. 7, Banda Aceh: Fakultas Syariah, Januari-Juni 2002), hlm. 73.

[12] Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, Terjemahan Hamidi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hlm. 64.

[13] Ibnu Qudamah, Al-Mughni Wa Al-Syarah Al-Kabir, Jilid VI, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1392 H), hlm. 12.

Senin, 15 Juni 2009

PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Al-Wadi'ah-Titipan / Simpanan.

Menurut Sumitro (1996 : 31) A1-Wadi'ah adalah “Perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang) dengan penyimpanan (bank) di mana pihak penyimpanan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang dan atau uang yang dititipkan kepadanya”.

Sedangkan Antonio (2000 : 121) menyatakan Al-Wadi'ah adalah “Sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip menghendaki”.

Dari dua pengertian di atas dikatakan bahwa Al-Wadi'ah adalah suatu titipan dari pihak pertama ke pihak kedua selaku bank untuk dijaga dan dikembalikan sewaktu-waktu.

Landasan syari'ahnya adalah :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerima “.

(Q. S. An -Nisa : 58)

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (hutang) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Tuhannya “.

(Q.S. Al-Baqarah :283)

Mengacu pada pengertian di atas, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan Wadi'ah sebagai:

- Rekening Giro.

- Tabungan berjangka.

Sebagai konsekwensi dari Al-Wadi'ah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank demikian juga adalah seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas giro lainnya. Tapi sungguhpun demikian bank juga tidak melarang untuk memberikan semacam bonus karena telah memanfaatkan dana tersebut.

Al-Musyarakah (Kerja sama Modal Usaha)

Antonio (2000 : 129), mengatakan :”Al-Musyarakah adalah akad kerja antara pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak emberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan”.

Perwataadtmadja (1992: 23), mengatakan :

“Al-Musyarakah adalah suatu perjanjian usaha antara dua atau beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya pada suatu proyek dimana masing-masing mempunyai hak untuk ikut serta mewakilkan atau menggugurkan haknya dalam manajemen proyek. Keuntungan dari hasil usaha bersama ini dapat dibagikan baik menurut proporsi penyertaan modal masing-masing maupun sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan manakala rugi kewajiban hanya terbatas sampai batas modal masing­-masing”.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa musyarakah adalah pencampuran dana untuk tujuan pembagian untung dan penanggungan resiko bersama.

Landasan syari'ahnya

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikah itu sebagian mereka berbuat dzalim kepada sebagian orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh “.

(Q.S. As-Shad : 24).

Al-Musyawarah diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

Al-Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi).

Antonio (2000: 135) memberikan definisi Al-Mudharabah adalah

“Akad kerja lama antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 % ) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, keuntungan dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan bila rugi ditanggung oleh pemilik modal selain kerugian bukan akibat kelalaian si pengelola, sedangkan apabila disebabkan oleh si pengelola, maka kerugian di tanggung atas si pengelola tersebut”.

Sumitro (1996: 2) mengatakan Al-Mudharabah adalah

“Perjanjian antara pemilik modal dengan pengelola dimana pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu usaha dan pengusaha setuju untuk mengelola usaha tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian dan apabila kerugian, maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewengan oleh pengelola”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Al-Mudharabah ini adalah suatu usaha yang dibiayai sepenuhnya oleh bank dengan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dan kerugian pun di tanggung oleh bank kecuali disebabkan oleh kesalahan si pengelola.

Landasan syari'ah :

“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebarlah kamu di muka bumi dan, carilah karunia Allah “.

(Q.S. Al-Jumu'ah : 10)

Al-Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan pendanaan pada sisi penghimpunan dana, diterapkan pada :

1. Tabungan berjangka yaitu tabungan yang dikhususkan untuk tujuan tertentu, misalnya tabungan haji, tabungan, qurban dan sebagainya.

2. Deposito biasa.

3. Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tetap, misalnya Mudharabah saja atau jarah saja.

Sedangkan sisi pembiayaan, termasuk :

1. Pembiayaan modal kerja, seperti modal perdagangan atau jasa.

2. Investasi khusus, dimana sumber khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkanoleh Shahibul Maal.

Antonio (2000 : 139) menyatakan Al-Muzara'ah adalah :”Kerjasama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tetap dari hasil panen”.

Dari pengertian di atas jelas bahwa Al-Muzara'ah ini khusus kerja sama di bidang pertanian.

Landasan syari'ahnya :

“Bahwa Rasulullah perrrah memberikan tanah khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanam­tanaman “.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Zabir yang mengatakan bahwa “kaum Arab senantiasa mengolah tanahnya secara Muzara'ah dengan rasio bagi hasil 1/3 ; 2/3 ; ¼; ½.”

Dalam hal ini lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.

Al-Musaqah (Kerjasama Pemeliharaan Pertanian).

Antonio (2000 : 140) menyatakan Al-musaqah adalah : “Suatu bentuk yang lebih sederhana dari Muzara'ah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si penggarap berhak atas misbah tetap dari hasil panen”.

Dalam pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Musaqah ini adalah suatu bentuk kerjasama hanya terbatas terhadap penyiraman dan pemeliharaan saja dan atas kerja tersebut si penggarap mendapat misbah tetap.

Landasan syari'ahnya :

“Rasulullah pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibarn kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan mempergunakan peralatan dan dana mereka, sehingga imbalan mereka memperoleh persentase tetap dari hasil panen “.

(H.R. Ibnu Umar)

Al-Murabahah (Jual Bali dengan Pembayaran Tangguh).

Antonio (2000 : 145) memberikan pengertian Al-Murabahah adalah : “Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati, dimana penjual harus memberitahukan harga poduk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya”.

Sedangkan Sumitro (1996 : 37) mengatakan Al-murabahah adalah: “Persetujuan jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan 1 bulan sampai 1 tahun, persetujuan tersebut meliputi cara pembayaran sekaligus”.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip Al-Murabahah ini adalah jual beli antara bank dengan nasabah pada harga asal tapi dengan tambahan keuntungan yang disepakati.

Landasan syari' ahnya :

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “.

(Q.S. Al-Baqarah : 275)

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesame mu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu “.

(Q.S. An-Nisa' : 29)

Al-Murabahah umumnya diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi baik domestic maupun luar negeri. Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya.

Bai'as Salam (Jual Beli dengan Pembayaran Di muka)

Antonio (2000 : 113) menyatakan bai'as salam berarti :”Pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka”.

Sedangkan Institut Bankir Indonesia (IBI) menyatakan bai'as salam adalah “Pembiayaan jual beli dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang dibeli yang telah disebutkan spesifikasinya dengan pengantaran kemudian”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Bai'as Salam adalah suatu perjanjian pembelian barang yang dibayar di muka sementara penyerahan barangnya di kemudian hari.

Landasan syari'ahnya :

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk yang ditentukan maka tuliskanlah “.

(Q. S. Al-Baqarah : 282)

Bai'as Salam biasanya digunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif rendah yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bai'as salam kepada pembeli kedua. Misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk dan grosir.

Bai'al Istishna' (Jual Bali Bardasarkan Pesanan)

Antonio (2000: 159) menyatakan Bai'al Istishna' adalah :

“Kontrak penjualan antara pembeli dan pembuatan barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli, pembeli barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran di muka, cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa pembayaran di muka. Cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang”.

Sedangkan Institut Bankir Indonesia (IBI) menyatakan Istinsha' adalah: “Pembiayaan jual beli yang dilakukan antara Bank dan nasabah dimana penjual (pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah bank untuk memenuhi pesanan, nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain”.

Dari pengertian di atas terlihat bahwa bank sebagai pembuat kontrak antara nasabah (pembeli) dengan produsen pembuat barang yang dipesan, jadi bank tetap satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kewajiban.

Istishna' dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan konstruksi dimana bank menerima pesanan dari pemilik proyek untuk membayar suatu bangunan dan menyerahkan kepada kontraktor untuk membangunnya.

Al-Ijarah (sewa).

Antonio (2000 : 167) mengatakan bahwa Al-Ijarah adalah: “Akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri”.

Sedangkan Sumitro (1996: 38) Al-Ijarah adalah : “Perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang membolehkan penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak setelah masa sewa berakhir, maka akan dikembalikan kepada pemilik”.

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Ijarah adalah perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan dikembalikan setelah masa berakhir.

Landasan syari'ahnya :

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahulah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “.

(Q.S. Al -Bayarah : 233)

Kontrak Ijarah ini adalah terdiri dari penggunaan atau manfaat dari sebuah
aset tertentu atau penggunaan sebuah asset yang spesifikasinya diterima berdasarkan penjelasan pemberi sewa, tapi dalam Ijarah ini asetnya rusak maka Ijarah menjadi batal.

Al-Ijarah Al-Muntahia Bittamlik (sewa-beli).

Antonio (2000: 168) Al-Ijarah Al-Muntahia adalah: “Sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangani si penyewa”.

Dari pengertian di atas terlihat jelas perbedaannya dengan Al-Ijarah biasa, dimana Al-Ijarah Al-Muntahia kepemilikan barang ditangan penyewa sedangkan Al-Ijarah kepemilikan barang ditangan si pemilik.

Bank-bank Islam yang mengoperasikan produk Ijarah dapt melakukan leasing, baik dalam bentuk operating lease maupun financial lease. Namun pada umumnya bank-bank lebih banyak menggunakan Al-Ijarah A1-Muttahia karena sederhana dari sisi pembukuannya, selain itu juga bank tidak repot mengurus pemeliharaan asset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.

Manfaat dari transaksi Al-Ijarah ini untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok.

Al-Wakalah (Jasa Perwakilan).

Antonio (2000 : 173) memberi pendapat tentang Al-Wakalah adalah: “Penyerahan pendelegasian atau pemberian mandat, atau pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan”.

Sedangkan Sumitro (1999 : 42) Al-Wakalah : “Jasa penitipan uang atau surat berharga, dimana bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola orang atau surat berharga tersebut. Dalam hal ini bank akan memperoleh fee sebagai imbalan jasanya.”

Landasan syari'ahnya :

“Dan demikianlah kami bangkitkan mereka agar saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka, “sudah berapa lamakah kamu berada disini, “ mereka menjawab “kita sudah berada disini satu atau setengah hari “. Berkata (yang lain lagi) Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada disini, maka suruhlah salah seorang kamu pergi kekota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun “.

(Q.S. Al-Kahfi : 19)

Wakalah adalah termasuk akad, karena itu pelaksanaannya tidak sah tanpa memenuhi rukunya antara lain berapa ijab dan qabul. Dalam melaksanakan wakalah tidak diisyaratkan adanya pengucapan atau lafadz tetap meskipun demikian, akad tersebut dianggap sah bila ditunjukkan secara jelas baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Wakalah dapat dilakukan sebagai bantuan atau sumbangan orang yang mewakili kepada yang diwakil.

Al-Kafalah (Jasa Penjaminan).

Antonio (2000 : 176) mengatakan Al-Kafalah adalah : “jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung atau juga mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai jaminan”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Kafalah itu pemberian jaminan oleh pihak bank kepada nasabah untuk menjamin suatu pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tetap oleh pihak yang dijamin”.

Landasan syari'ahnya :

“Penyeru-penyeru itu berseru, “kami kehilangan piala raja, barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya “.

(Q.S. Yusuf : 72)

Jadi Al-Kafalah ini kerja sama bank dengan nasabah dalam hubungan dengan jaminan apakah itu jaminan barang dan jasa.

Al-Hawalah (Jasa transfer pengalihan hand dan tanggung jawab).

Antonio ( 2000 : 179) memberi pengertian Al-Hawalah adalah: “Pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya”.

Jadi Al-Hawalah ini merupakan pemindahan beban hutang dari orang yang berhutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang, layaknya jasa bank untuk melakukan kegiatan transfer atau pengalihan tagihan.

Landasan syari'ahnya :

“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman dan jika salah seorang dari kamu diikutkan (di hawalah kan) kepada orang yang mampu kaya, maka terimalah hawalah itu “.

(H.R. Bukhari-Muslim)

Al-Hawalah ini dapat memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan. Sehingga pihak bank bias menyediakan dana untuk hibah yang membutuhkan dan juga dapat dijadikan sumber pendapatan non pembiayaan bagi abnk syari'ah.

Ar-Rahn (Gadai).

Antonio (2000 : 182) mengatakan Ar-Rahn adalah : “Menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, baru barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonominya”.

Dengan demikian Ar-Rahn ini sama dengan semacam jaminan hutang atau gadai dimana pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

Landasan syari’ahnya :

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amallah tidak dengan secara tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hemdaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). “

Kontrak Rahn dipakai dalam perbankan menyangkut dua hal :

1. Sebagai produk pelengkap.

Rahn dipakai produk pelengkap artinya sebagai akad tambah (jaminan) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekwensi akad tersebut.

2. Sebagai poduk tersendiri.

Rahn dipakai sebagai pegadaian, bedanya dalam waktu nasabah tidak dikenakan bunga yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, pemjagan, serta penaksiran ditetapkan di muka.

Manfaat yang dapat diambil dari Ar-Rahn ini adalah biaya-biaya konkrit yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan dari asset tersebut. Rahn juga bermanfaat membantu saudara-saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah.

Ar-Qardh (Pinjaman Kebajikan dan Lunak).

Antonio ( 2000 : 185 ) : mengatakan Ar-Qadrh adalah : “Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan”.

Institut Bankir Indonesia (IBI) memberi pengertian Ar-Qadrh sebagai berikut: “Apa yang diberikan dari harta yang terukur kepada orang lain agar dikembalikan sepertinya”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Ar-Qadrh atau akad pinjam meminjam ini terjadi antara nasabah dengan bank dalam hal memberikan dana pinjaman setelah melakukan analisa, dana Ar-Qadrh ini dapat diberikan untuk membanu keuangan nasabah secara cepat dan jangka pendek membantu usaha yang sangat kecil dan keperluan sosial.

Landasan syari'ahnya :

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Alah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak“.

(Q.S. Al-Hadid : 11)

Al-Qardh diterapkan sebagai berikut :

1. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas yang baik, dan bonafiditasnya yang membutuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif pendek.

2. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena misalnya tersimpan dalam bentuk deposito.

3. Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil atau membantu

sektor sosial.